Kamis, 03 November 2016

Kuat untuk tasaka

Kali ini aku menjerit. Menangis menjerit sejadi2nya di depannya. Iya di depan wajah mungilnya.
Sambil terus menangis menatapnya yang justru tertawa girang melihatku, bukannya mereda tangisku semakin pecah. Kujeritkan isi hatiku didepannya. Kubuka kedua tanganku dan kuulurkan padanya sambil berkata, "sini nak peluk mama." Dengan girangnya dia berlari kecil ke pelukanku. Kupeluk erat laki2 kecil tak berdosa itu. Kujeritkan semua sejadi2nya.
Nak, maafkan mama. Ternyata berat rasanya memikirkan siapa yang harus mengasuhmu menggantikan mama sementara. Di saat pengasuh pulang tiba2, semua orang panik mencari ganti. Uti, Akung, Ema, Engkong bahkan Ayah juga panik.
Kamu tahu nak bagaimana perasaan mama saat ini? Mama tersakiti nak. Dimana mama? Kemana mama? Kenapa harus orang lain yang menjagamu padahal mama ada? Kenapa nak? kenapa?

Sejak seminggu lalu tasaka mendapat pengasuh baru. Karakternya yang unik yang gak mudah mau sama orang, membuatku memutuskan untuk ambil cuti 3 hari sambil menjaganya dan sesekali coba meninggalkannya dengan pengasuh baru. Selalu menangis, menjerit sejadi2nya saat ada pengasuh itu didekatnya.

Sekarang, saat dia tiba2 pulang karena menyerah menghadapi tasaka, aku lah orang pertama yang paling bersalah di sini. Seharusnya tak perlu ada pengasuh untuk anakku. Seharusnya aku yang selalu disampingnya. Aku yang melihat perkembangannya setiap detik, menit, jam dan begitu seterusnya. Aku. Aku. Orang pertama yang paling bertanggungjawab jika terjadi sesuatu padanya.
Tapi apa dayaku. Meninggalkan pekerjaan masih sangat sulit bagi kami. Kewajiban kami yang begitu tinggi membuat kami tidak bisa berbuat banyak saat ini. Sampai kapan? Sampai kapan?
Tasaka, maafkan mama. Maafkan mama dengan segala kesalahan dan kelemahan mama.
Tasaka, kelak jadi anak baik ya nak. Jadilah yang terbaik sayang.
Mama sayang Tasaka, dengan sepenuh hati dan jiwa raga mama. Untuk Tasaka, as always.

-mama-

Kamis, 27 Oktober 2016

Sepeda orang tua

Seperti belajar bisa nyetir sepeda
Dibeliin sepeda baru sama orang tua. Semangat banget belajarnya. Tiap sore sepulang sekolah buru2 main sepeda
Jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi. Gitu terus setiap hari. Memar, lecet, luka sampai sepeda rusak pun jadilah.
Masih belum bisa juga? Padahal luka makin banyak dan kerusakan sepeda makin menjadi
Orangtua marah, dibeliin sepeda mahal2, belajar gak bisa2.
Sedih? Iya! Kecewa? Iya! Nyerah? Hampir!
Masih terus belajar dan belajar walaupun orang tua setiap hari marah2. Sambil belajar ada perasaan nyesek karena dimarahin. Pengen banget bisa segera bisa nyetir sepeda, tapiiii..kok dimarah2in terus sii? Sudah usaha lho

Keadaannya pasti beda kalau jadi gini:
Pas lagi belajar nyetir tiba2 orangtua dateng, dampingi dan tersenyum
Mereka meyakinkan kalau memang prosesnya harus begitu lakukan, belajar aja terus jangan nyerah.

Apa jadinya kalau semua orangtua hanya melihat hasil? Bagaimanapun, usaha dan proses itu penting. Hargai saja tiap proses yg ada dan yg dijalani anak2mu. Hasil mengecewakan? Terima saja. Yakin, anakmu pasti akan memberikan kejutan lain. Karna setiap anak di dunia ini unik!
Siapa tahu kelak dia jadi pelukis terkenal? atau malah jadi pemain bola?

-teruntuk orangtua yang (mungkin) belum tersadar-

Selasa, 11 Oktober 2016

Cerita hujan

Oktober di malam hari. Hujan sedang rindu dan selalu datang menyapa. Setiap hari dia datang bergandengan tangan dengan langit gelap layaknya malam hari.
Hujan. Bukan hanya tentang tetesan air yang jatuh. Bukan juga tentang derasnya aliran air yang jatuh. Hujan. Membuat siapapun dingin karnanya.
Seperti malam ini. Aku di rumah duduk menulis. Tertidur sebelah kananku dua lelaki hebat dengan posisi miring ke kiri bersama-sama, mata tertutup rapat dan mungkin sedang bermimpi indah. Suami dan anakku. Ya, merekalah yang menjadi penopang semangatku selama ini. Tentunya tetap ada doa orangtua kami di sana.
Biasanya aku pun segera menyusul mereka untuk tidur. Tapi tidak kali ini, mataku masih terjaga. Terang. 
Ada sebuah magnet kuat yang membuatku tetap terjaga. Akhir-akhir ini tidurku kurang nyenyak.
Memang, setiap manusia akan selalu memiliki masalahnya. Tak terkecuali aku. Masalah memang bukan sesuatu yang menyeramkan, hanya dibutuhkan segenggam semangat untuk segera menyelesaikan. 
Malam ini, tulisan ini aku buat ketika secuil masalah sedang kurasakan. Bukan tentang keluarga. Mereka adalah segenggam semangatku tadi yang kujaga.
Lalu apa? 
Bisa jadi tentang pekerjaan yang berimbas. Ya, pekerjaanku memang menuntutku untuk pulang malam. Entah karena pending pekerjaan atau sekadar rasa sungkan pada pimpinan. Satu yang kurasakan, ketika aku memilih pulang lebih awal itu menjadi salah satu sumber buruknya aku dimata mereka. Siapapun itu.
Imbasnya? Bisa jadi salah satunya karena itu. Pulang kerja larut malam, tentu sesampainya di rumah aku lelah. Istirahat adalah cara ampuh menghilangkannya sambil melihat si kecil ditemani bermain oleh mbak.
Benar saja, mbak akhirnya memutuskan untuk tidak lagi bersama kami. Membantu pekerjaan rumahku yang selama ini kupercayakan padanya, menjaga si kecil!
Jangan pernah menyalahkan ibu bekerja yang harus rela menitipkan anaknya pada mbak. Jangan pernah pula menganggap pekerjaan rumah yang dikerjakan ibu yang tidak bekerja itu mudah.
Akan selalu ada tantangan untuk setiap pilihan. Apapun itu, hargailah pilihannya.
Setelah ini, aku pun masih harus tetap melanjutkan pekerjaanku, mencari mbak baru, mungkin aku akan tetap pulang malam dan mungkin mbak baru harus sangat menyesuaikan. Jika tidak, ya masih seperti ini polanya. Aku bekerja - mbak di rumah - aku pulang malam - mbak lama lama gak betah - aku cari pengganti - aku bekerja dan begitu seterusnya.
Entah sampai kapan. Sampai kapan aku bisa dengan sangat yakin dan bangga menjadi pendidik utama untuk anak-anakku. Menjadi ibu rumah tangga bersama mereka. Entah.

Sabtu, 20 Agustus 2016

Sekardus Kopi


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

“Pa, itu minuman apa sih kok hitam-hitam gitu?” Tanyaku pada papa yang sepertinya asyik dengan cairan hitam di cangkirnya sore itu di teras belakang rumah.
“Ini namanya kopi sayang,” jawab papa santai. Matanya masih fokus pada cangkir putih bergambar burung cendrawasih sambil tangannya mengaduk lembut cangkir itu.
“Rasanya gimana pa?” tanyaku lagi masih penasaran.
“Enak donk. Ini minuman favorit papa sayang.”
“Terus itu papa dapet darimana Pa?” aku masih saja terus mencecar pertanyaan ke papa.
“Oh kalau yang ini papa dapet oleh-oleh dari teman papa yang habis dari Toraja. Toraja itu suatu kota di Sulawesi Selatan yang jadi salah satu pusat produksi kopi di Indonesia. Rasanya dijamin enak sayang,” Jawab papa dengan sabarnya.
“Terus pa kalau itu oleh-oleh nanti kalau habis gimana pa? Papa gak bisa minum kopi lagi donk?”
“Bisa donk sayang. Kopi itu gak cuma dari Toraja aja. Kalau nanti yang ini habis, papa tinggal beli aja tuh di supermartket deket rumah biasanya. Tiap bulan juga mama pasti beliin kok.”
“Oh gitu ya pa. Papa nanti kalau aku besar aku mau beliin papa kopi Toraja ya Pa. Papa mau gak?”
Papa tersenyum melihatku. Dipegangnya tangan mungilku sambil berkata, “Sayang, kamu mau beliin papa kopi Toraja atau nggak itu terserah kamu. Kamu belajar yang rajin ya biar jadi anak pintar dan nanti kamu bisa beliin papa kopi Toraja satu dus.”
Kami pun tertawa girang sore itu.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sore ini, aku duduk di teras belakang kamar kosku. Pembicaraan 17 tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku SD itu masih teringat jelas. Usiaku sekarang 25 tahun dan di sini aku duduk. Aku bekerja di salah satu perusahaan BUMN terkemuka di Indonesia dan tepat setahun lalu aku mendapat surat keputusan penempatan di sini, Toraja. Iya di Toraja. Sebuah kota kecil di hampir ujung timur Indonesia. Entah sudah berapa dus kopi yang kukirim ke rumah papa di Surabaya. Ah betapa aku rindu ada di tengah-tengah orang tuaku, bersenda gurau bersama mereka membahas apapun yang kami suka.

Kini mereka jauh di seberang sana. Betapa aku rindu cara papa meminum dan menikmati kopinya. Papa yang tidak pernah langsung menghabiskan kopinya dalam sekejap. Papa yang meminum kopinya cukup seteguk dan meminumnya seteguk lagi satu jam kemudian. Begitu seterusnya.
Sejurus kemudian handphone ku berbunyi. Kulihat nama yang tertera di layar, Mas Doni. Buru-buru kuangkat telepon dengan girang.
“Lagi ngapain sayang?” suara di seberang sana semangat sekali menyapaku.
“Lagi santai-santai nih di teras belakang. Kamu lagi ngapain?”
“Ini masih di kantor, ada beberapa kerjaan yang belum beres. Lembur deh.”
Pembicaraan terus berlanjut selama hampir satu jam. Selanjutnya kami menutup telepon dan menyudahi pembicaraan garing kami sore ini.
Mas Doni. Lelaki yang sudah menemaniku selama 4 tahun terakhir ini. Sebenarnya kami sudah sangat siap untuk melangkah ke jenjang selanjutnya, apalagi kalau bukan pernikahan.
Aku mengenal Mas Doni sejak di bangku kuliah. Dia yang selalu setia membantu setiap tugas-tugas kuliahku, karena jelas dari segi kemampuan Mas Doni sudah gak perlu diragukan lagi. Bahkan aku bisa lulus kuliah juga gak jauh-jauh berkat tangan dingin Mas Doni. Jurusan kuliahku yang teknik sempat membuat aku down pada saat pengerjaan skripsi. Bukan sulit, hanya butuh ketelitian dan ketelatenan yang sangat tinggi. Sudah hampir menyerah, apalagi Mas Doni sudah selesai semua sidang sampai yudisium. Tinggal menunggu waktu untuk wisuda saja. Sedangkan aku? Alat aja belum kelar, apalagi sidang sampai yudisium. Itulah, karena Mas Doni semua akhirnya selesai. Aku yang hampir putus asa pun akhirnya bangkit dan menyelesaikan semuanya sampai akhir.
Belum cukup sampai disitu cerita hubunganku dengan Mas Doni. Selepas lulus kuliah, kami selalu bersama mencari pekerjaan. Mulai rajin mendatangi jobfair, menyebarluaskan CV dan data diri ke perusahaan manapun yang dimana kami masuk ke dalam persyaratan mereka, sampai rajin apply pekerjaan via penyedia jasa pekerjaan di internet. Entah sudah berapa CV kami sebarkan, berapa rupiah juga yang kami keluarkan sedangkan kami saat itu masih berstatus mahasiswa dengan kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan.
Setiap panggilan pekerjaan kami jalani. Kami bergantian saling mengantar dan menunggu jika ada salah satu yang mendapat panggilan. Entah berapa banyak kesedihan yang juga kami terima karena tak satupun dari panggilan-panggilan tersebut yang berujung pada diterimanya kami bekerja.
Mas Doni. Sosok pria yang pantang menyerah, selalu tersenyum, tidak pernah stress memikirkan hidup. Sosok pria yang selalu optimis dalam setiap langkahnya. Semua semangatku selalu muncul dari sosok Mas Doni. Hingga suatu hari aku telah diterima di salah satu perusahaan BUMN terkemuka. Dimana salah satu persyaratannya adalah aku harus siap ditempatkan di seluruh Indonesia. Mas Doni pula orang pertama yang mendukungku. Apapun yang aku lakukan jika itu demi kehidupan yang lebih baik maka dia rela. Hanya satu keyakinannya, dia percaya padaku dan dia yakin aku pun percaya padanya. Jika kami berjodoh, tidak akan sulit kami untuk dipersatukan.
Hari itu, Minggu pagi selepas solat Subuh, aku diantar Papa Mama dan Mas Doni ke bandara. Aku harus menjalani training di Jakarta selama 3 bulan. Dengan penuh keyakinan dan semangat untuk memperbaiki taraf hidup keluarga, mereka melepasku. Menangis memang, tapi itu tangisan kebahagiaan.
Lalu bagaimana Mas Doni? Selama 3 bulan aku training di Jakarta, Mas Doni tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Papa Mama mulai cemas dengan hal ini. Mereka seringkali menyindirku, jika memang Mas Doni tidak juga bekerja sebaiknya aku mencari lelaki lain. Tidak. Bukan seperti itu mauku. Aku tahu Mas Doni bukan orang sembarangan. Dia lelaki bertanggungjawab dan pantang menyerah. Terus kuyakinkan orang tua ku jika kelak Mas Doni pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan baik.
Waktu terus saja berjalan, setiap harinya setiap minggu hingga akhirnya penantian itu berakhir. Tepat ketika aku mendapat surat penempatan di Toraja, Mas Doni mendapat pengumuman diterima di salah satu perusahaan swasta di Surabaya. Sedih. Tentu saja karena itu artinya kami memang harus terpisah jarak.
Bagaimana orangtua ku? Mereka tidak puas dengan pekerjaan Mas Doni. Tiap kali aku menelepon mereka, mereka selalu bertanya kapan Mas Doni akan pindah ke perusahaan yang lebih baik? Jika sudah begitu, aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan mereka dengan menanyakan kopi rasa apalagi yang papa inginkan untuk kukirim. Sejauh ini aku selalu berhasil dengan trik itu. Papa. Lelaki yang begitu menggemari kopi. Papa gak pernah keluar atau bepergian jauh dari Surabaya. Tapi papa selalu tahu rasa kopi dari segala penjuru Indonesia. Jika dipikir-pikir, mungkin saja penempatanku di Toraja ini juga karena janjiku dulu ke papa. Aku yang dulu pernah berjanji membelikan papa kopi Toraja satu dus. Sekarang? Semua terpenuhi. Lucu juga jika mengingat saat-saat itu. Betapa polosnya aku yang dulu menjanjikan kopi Toraja satu dus ke papa. Tapi hal itu adalah salah satu pembicaraan favorit kami di ujung telepon. Jika sudah begitu, tawa kami pun lepas dan Mas Doni lenyap dari pembicaraan.
Sekarang Mas Doni tetap di Surabaya. Gak jarang aku sengaja mengirim kopi ke tempat Mas Doni untuk selanjutnya Mas Doni antarkan ke rumah papa mama. Itu jadi salah satu trik kami untuk meluluhkan hati mereka. Biasanya mereka akan sedikit luluh ketika melihat kesungguhan Mas Doni terhadap hubungan kami. Perlahan tapi pasti, Mas Doni seringkali datang ke rumah. Awalnya hanya untuk sekadar mengantar kopi, tapi lambat laun selalu ada saja alasan Mas Doni untuk ke rumah. Mama yang sekarang sedang belajar komputer, ternyata sangat terbantu oleh Mas Doni yang notabene jagonya komputer baik software maupun hardware. Kalau sudah begitu, mama akan langsung meneleponku dan memuji Mas Doni yang sukses membantunya. Aku hanya tersenyum-senyum sambil berdoa dalam hati semoga kami disegerakan ke jenjang selanjutnya.
Ternyata tidak mudah. Walaupun Mas Doni sudah hampir setiap hari datang ke rumah, aku pun yang setiap hari selalu memuji Mas Doni lewat telepon dan entah sudah berapa banyak rayuan kuucapkan ke mama untuk bisa menerima Mas Doni. Tampaknya papa mama masih bergeming. Tidak jarang aku selalu menangis saat menerima telepon dari Mas Doni. Perjuangan kami yang sudah sejauh ini kenapa tidak juga membuahkan hasil. Sempat terpikir olehku untuk menyerah dan mengakhiri hubungan kami. Belum sempat kuucapkan, Mas Doni selalu meyakinkanku jika semua akan baik-baik saja. Mas Doni di Surabaya akan selalu siap berusaha sekuat tenaga meyakinkan orang tuaku.
Hingga suatu hari, papa mendadak pingsan. Adikku saat itu masih menjalani tugas kuliah di luar kota. Mama di rumah panik. Hari masih siang. Tetangga sekitar juga sepi. Satu-satunya yang mama ingat hanya Mas Doni. Mas Doni yang saat itu sebenarnya masih ada pekerjaan penting di kantor, rela meninggalkannya dan segera mengantar papa ke rumah sakit. Untungnya papa hanya mengalami kelelahan karena sepanjang hari itu papa sibuk membetulkan atap rumah yang bocor.
Keesokan harinya, aku mendapat telepon dari Mas Doni. Tidak seperti biasanya karena Mas Doni telepon di jam kerja. Kami sebenarnya sepakat untuk tidak saling mengganggu di saat waktu kerja. Aku tentu kaget dengan telepon Mas Doni. Pasti ada hal yang amat penting yang ingin dia sampaikan.
 “Dek, InshaAllah bulan depan Mas mau ke rumahmu sama orangtua mas. Mau ngelamar kamu. Kamu pulang ya.”
“Alhamdulillah, serius mas? Kok bisa? Papa mama mau? Gimana ceritanya?”
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sore itu, Mas Doni datang ke rumah seperti biasa mengantar kopi dariku. Begitu masuk papa mengajak Mas Doni duduk di teras belakang rumah, sudah disiapkan kopi di sana. Dua cangkir kopi motif cenderawasih favorit papa. Ditambah lagi kopi yang disiapkan adalah kopi Toraja dariku. Mas Doni sebenarnya tidak terlalu suka kopi, tapi tentu sangat tidak sopan jika dia tidak meminumnya.
Papa memulai pembicaraan. Menanyakan seberapa serius Mas Doni denganku. Mas Doni dengan yakin dan siapnya menjawab, bahkan sejak pertama kali dia diterima kerja dia sudah siap melamarku. Tampaknya papa kaget dengan jawaban itu. Sempat terdiam beberapa saat sambil memikirkan sesuatu. Sejurus kemudian papa mengangguk diikuti senyuman lebar dari bibirnya yang sudah tampak keriput. Papa pun bertanya kapan orangtua Mas Doni siap datang ke rumah. Melihat kesempatan yang tentu sudah sangat kami tunggu-tunggu, Mas Doni menjawab dengan lantang jika bulan depan orang tua Mas Doni akan datang ke rumah dan melamarku.
Mama yang melihat dari kejauhan menghampiri Mas Doni, memeluknya dan mencium keningnya, sambil berucap, “Selamat datang di keluarga kecil kami ya nak.”


Rabu, 16 Maret 2016

Welcome to Bumi Sriwijaya

March, 16th 2016. Akhirnya menginjakkan kaki di tanah Sumatra. Sudah lama juga sebenarnya pengen ke Sumatra,mau tau seperti apa sih pulau ujung barat Indonesia ini.
Kali ini aku kesini dlm rangka training kantor yg temanya Effective Communication Skill. Well, aku sih bukan mau sharing ttg trainingnya (pasti bosen juga baca begituan kan?hehehhe)
Aku mau sharing aja ttg kedatanganku kali ini. Entah bagaimana Allah itu mengabulkan doa hambaNya,tp yg jelas dulu aku pernah berdoa kalau someday aku pingin minimal bs keliling Indonesia. Doanya udah dari kapan tahun lho ini serius, tp Subhanallah sekarang (baca: umurku 25th) dikabulkan dan bonusnya, GRATIS! Keren kan?
Jgn pernah takut untuk berdoa. Doa apapun doa sebanyak mungkin jgn pernah takut meminta. Allah is always with us.
Btw,Palembang apalagi kalo bukan pempek dan Ampera kan ya? Huah gak sabar ini lho aku mau jelong2 kesana..nanti aku share yaa pengalaman seruku..
Ok,see u soon