Sabtu, 20 Agustus 2016

Sekardus Kopi


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

“Pa, itu minuman apa sih kok hitam-hitam gitu?” Tanyaku pada papa yang sepertinya asyik dengan cairan hitam di cangkirnya sore itu di teras belakang rumah.
“Ini namanya kopi sayang,” jawab papa santai. Matanya masih fokus pada cangkir putih bergambar burung cendrawasih sambil tangannya mengaduk lembut cangkir itu.
“Rasanya gimana pa?” tanyaku lagi masih penasaran.
“Enak donk. Ini minuman favorit papa sayang.”
“Terus itu papa dapet darimana Pa?” aku masih saja terus mencecar pertanyaan ke papa.
“Oh kalau yang ini papa dapet oleh-oleh dari teman papa yang habis dari Toraja. Toraja itu suatu kota di Sulawesi Selatan yang jadi salah satu pusat produksi kopi di Indonesia. Rasanya dijamin enak sayang,” Jawab papa dengan sabarnya.
“Terus pa kalau itu oleh-oleh nanti kalau habis gimana pa? Papa gak bisa minum kopi lagi donk?”
“Bisa donk sayang. Kopi itu gak cuma dari Toraja aja. Kalau nanti yang ini habis, papa tinggal beli aja tuh di supermartket deket rumah biasanya. Tiap bulan juga mama pasti beliin kok.”
“Oh gitu ya pa. Papa nanti kalau aku besar aku mau beliin papa kopi Toraja ya Pa. Papa mau gak?”
Papa tersenyum melihatku. Dipegangnya tangan mungilku sambil berkata, “Sayang, kamu mau beliin papa kopi Toraja atau nggak itu terserah kamu. Kamu belajar yang rajin ya biar jadi anak pintar dan nanti kamu bisa beliin papa kopi Toraja satu dus.”
Kami pun tertawa girang sore itu.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sore ini, aku duduk di teras belakang kamar kosku. Pembicaraan 17 tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku SD itu masih teringat jelas. Usiaku sekarang 25 tahun dan di sini aku duduk. Aku bekerja di salah satu perusahaan BUMN terkemuka di Indonesia dan tepat setahun lalu aku mendapat surat keputusan penempatan di sini, Toraja. Iya di Toraja. Sebuah kota kecil di hampir ujung timur Indonesia. Entah sudah berapa dus kopi yang kukirim ke rumah papa di Surabaya. Ah betapa aku rindu ada di tengah-tengah orang tuaku, bersenda gurau bersama mereka membahas apapun yang kami suka.

Kini mereka jauh di seberang sana. Betapa aku rindu cara papa meminum dan menikmati kopinya. Papa yang tidak pernah langsung menghabiskan kopinya dalam sekejap. Papa yang meminum kopinya cukup seteguk dan meminumnya seteguk lagi satu jam kemudian. Begitu seterusnya.
Sejurus kemudian handphone ku berbunyi. Kulihat nama yang tertera di layar, Mas Doni. Buru-buru kuangkat telepon dengan girang.
“Lagi ngapain sayang?” suara di seberang sana semangat sekali menyapaku.
“Lagi santai-santai nih di teras belakang. Kamu lagi ngapain?”
“Ini masih di kantor, ada beberapa kerjaan yang belum beres. Lembur deh.”
Pembicaraan terus berlanjut selama hampir satu jam. Selanjutnya kami menutup telepon dan menyudahi pembicaraan garing kami sore ini.
Mas Doni. Lelaki yang sudah menemaniku selama 4 tahun terakhir ini. Sebenarnya kami sudah sangat siap untuk melangkah ke jenjang selanjutnya, apalagi kalau bukan pernikahan.
Aku mengenal Mas Doni sejak di bangku kuliah. Dia yang selalu setia membantu setiap tugas-tugas kuliahku, karena jelas dari segi kemampuan Mas Doni sudah gak perlu diragukan lagi. Bahkan aku bisa lulus kuliah juga gak jauh-jauh berkat tangan dingin Mas Doni. Jurusan kuliahku yang teknik sempat membuat aku down pada saat pengerjaan skripsi. Bukan sulit, hanya butuh ketelitian dan ketelatenan yang sangat tinggi. Sudah hampir menyerah, apalagi Mas Doni sudah selesai semua sidang sampai yudisium. Tinggal menunggu waktu untuk wisuda saja. Sedangkan aku? Alat aja belum kelar, apalagi sidang sampai yudisium. Itulah, karena Mas Doni semua akhirnya selesai. Aku yang hampir putus asa pun akhirnya bangkit dan menyelesaikan semuanya sampai akhir.
Belum cukup sampai disitu cerita hubunganku dengan Mas Doni. Selepas lulus kuliah, kami selalu bersama mencari pekerjaan. Mulai rajin mendatangi jobfair, menyebarluaskan CV dan data diri ke perusahaan manapun yang dimana kami masuk ke dalam persyaratan mereka, sampai rajin apply pekerjaan via penyedia jasa pekerjaan di internet. Entah sudah berapa CV kami sebarkan, berapa rupiah juga yang kami keluarkan sedangkan kami saat itu masih berstatus mahasiswa dengan kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan.
Setiap panggilan pekerjaan kami jalani. Kami bergantian saling mengantar dan menunggu jika ada salah satu yang mendapat panggilan. Entah berapa banyak kesedihan yang juga kami terima karena tak satupun dari panggilan-panggilan tersebut yang berujung pada diterimanya kami bekerja.
Mas Doni. Sosok pria yang pantang menyerah, selalu tersenyum, tidak pernah stress memikirkan hidup. Sosok pria yang selalu optimis dalam setiap langkahnya. Semua semangatku selalu muncul dari sosok Mas Doni. Hingga suatu hari aku telah diterima di salah satu perusahaan BUMN terkemuka. Dimana salah satu persyaratannya adalah aku harus siap ditempatkan di seluruh Indonesia. Mas Doni pula orang pertama yang mendukungku. Apapun yang aku lakukan jika itu demi kehidupan yang lebih baik maka dia rela. Hanya satu keyakinannya, dia percaya padaku dan dia yakin aku pun percaya padanya. Jika kami berjodoh, tidak akan sulit kami untuk dipersatukan.
Hari itu, Minggu pagi selepas solat Subuh, aku diantar Papa Mama dan Mas Doni ke bandara. Aku harus menjalani training di Jakarta selama 3 bulan. Dengan penuh keyakinan dan semangat untuk memperbaiki taraf hidup keluarga, mereka melepasku. Menangis memang, tapi itu tangisan kebahagiaan.
Lalu bagaimana Mas Doni? Selama 3 bulan aku training di Jakarta, Mas Doni tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Papa Mama mulai cemas dengan hal ini. Mereka seringkali menyindirku, jika memang Mas Doni tidak juga bekerja sebaiknya aku mencari lelaki lain. Tidak. Bukan seperti itu mauku. Aku tahu Mas Doni bukan orang sembarangan. Dia lelaki bertanggungjawab dan pantang menyerah. Terus kuyakinkan orang tua ku jika kelak Mas Doni pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan baik.
Waktu terus saja berjalan, setiap harinya setiap minggu hingga akhirnya penantian itu berakhir. Tepat ketika aku mendapat surat penempatan di Toraja, Mas Doni mendapat pengumuman diterima di salah satu perusahaan swasta di Surabaya. Sedih. Tentu saja karena itu artinya kami memang harus terpisah jarak.
Bagaimana orangtua ku? Mereka tidak puas dengan pekerjaan Mas Doni. Tiap kali aku menelepon mereka, mereka selalu bertanya kapan Mas Doni akan pindah ke perusahaan yang lebih baik? Jika sudah begitu, aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan mereka dengan menanyakan kopi rasa apalagi yang papa inginkan untuk kukirim. Sejauh ini aku selalu berhasil dengan trik itu. Papa. Lelaki yang begitu menggemari kopi. Papa gak pernah keluar atau bepergian jauh dari Surabaya. Tapi papa selalu tahu rasa kopi dari segala penjuru Indonesia. Jika dipikir-pikir, mungkin saja penempatanku di Toraja ini juga karena janjiku dulu ke papa. Aku yang dulu pernah berjanji membelikan papa kopi Toraja satu dus. Sekarang? Semua terpenuhi. Lucu juga jika mengingat saat-saat itu. Betapa polosnya aku yang dulu menjanjikan kopi Toraja satu dus ke papa. Tapi hal itu adalah salah satu pembicaraan favorit kami di ujung telepon. Jika sudah begitu, tawa kami pun lepas dan Mas Doni lenyap dari pembicaraan.
Sekarang Mas Doni tetap di Surabaya. Gak jarang aku sengaja mengirim kopi ke tempat Mas Doni untuk selanjutnya Mas Doni antarkan ke rumah papa mama. Itu jadi salah satu trik kami untuk meluluhkan hati mereka. Biasanya mereka akan sedikit luluh ketika melihat kesungguhan Mas Doni terhadap hubungan kami. Perlahan tapi pasti, Mas Doni seringkali datang ke rumah. Awalnya hanya untuk sekadar mengantar kopi, tapi lambat laun selalu ada saja alasan Mas Doni untuk ke rumah. Mama yang sekarang sedang belajar komputer, ternyata sangat terbantu oleh Mas Doni yang notabene jagonya komputer baik software maupun hardware. Kalau sudah begitu, mama akan langsung meneleponku dan memuji Mas Doni yang sukses membantunya. Aku hanya tersenyum-senyum sambil berdoa dalam hati semoga kami disegerakan ke jenjang selanjutnya.
Ternyata tidak mudah. Walaupun Mas Doni sudah hampir setiap hari datang ke rumah, aku pun yang setiap hari selalu memuji Mas Doni lewat telepon dan entah sudah berapa banyak rayuan kuucapkan ke mama untuk bisa menerima Mas Doni. Tampaknya papa mama masih bergeming. Tidak jarang aku selalu menangis saat menerima telepon dari Mas Doni. Perjuangan kami yang sudah sejauh ini kenapa tidak juga membuahkan hasil. Sempat terpikir olehku untuk menyerah dan mengakhiri hubungan kami. Belum sempat kuucapkan, Mas Doni selalu meyakinkanku jika semua akan baik-baik saja. Mas Doni di Surabaya akan selalu siap berusaha sekuat tenaga meyakinkan orang tuaku.
Hingga suatu hari, papa mendadak pingsan. Adikku saat itu masih menjalani tugas kuliah di luar kota. Mama di rumah panik. Hari masih siang. Tetangga sekitar juga sepi. Satu-satunya yang mama ingat hanya Mas Doni. Mas Doni yang saat itu sebenarnya masih ada pekerjaan penting di kantor, rela meninggalkannya dan segera mengantar papa ke rumah sakit. Untungnya papa hanya mengalami kelelahan karena sepanjang hari itu papa sibuk membetulkan atap rumah yang bocor.
Keesokan harinya, aku mendapat telepon dari Mas Doni. Tidak seperti biasanya karena Mas Doni telepon di jam kerja. Kami sebenarnya sepakat untuk tidak saling mengganggu di saat waktu kerja. Aku tentu kaget dengan telepon Mas Doni. Pasti ada hal yang amat penting yang ingin dia sampaikan.
 “Dek, InshaAllah bulan depan Mas mau ke rumahmu sama orangtua mas. Mau ngelamar kamu. Kamu pulang ya.”
“Alhamdulillah, serius mas? Kok bisa? Papa mama mau? Gimana ceritanya?”
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sore itu, Mas Doni datang ke rumah seperti biasa mengantar kopi dariku. Begitu masuk papa mengajak Mas Doni duduk di teras belakang rumah, sudah disiapkan kopi di sana. Dua cangkir kopi motif cenderawasih favorit papa. Ditambah lagi kopi yang disiapkan adalah kopi Toraja dariku. Mas Doni sebenarnya tidak terlalu suka kopi, tapi tentu sangat tidak sopan jika dia tidak meminumnya.
Papa memulai pembicaraan. Menanyakan seberapa serius Mas Doni denganku. Mas Doni dengan yakin dan siapnya menjawab, bahkan sejak pertama kali dia diterima kerja dia sudah siap melamarku. Tampaknya papa kaget dengan jawaban itu. Sempat terdiam beberapa saat sambil memikirkan sesuatu. Sejurus kemudian papa mengangguk diikuti senyuman lebar dari bibirnya yang sudah tampak keriput. Papa pun bertanya kapan orangtua Mas Doni siap datang ke rumah. Melihat kesempatan yang tentu sudah sangat kami tunggu-tunggu, Mas Doni menjawab dengan lantang jika bulan depan orang tua Mas Doni akan datang ke rumah dan melamarku.
Mama yang melihat dari kejauhan menghampiri Mas Doni, memeluknya dan mencium keningnya, sambil berucap, “Selamat datang di keluarga kecil kami ya nak.”