Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
“Pa, itu minuman apa sih kok
hitam-hitam gitu?” Tanyaku pada papa yang sepertinya asyik dengan cairan hitam
di cangkirnya sore itu di teras belakang rumah.
“Ini namanya kopi sayang,” jawab papa
santai. Matanya masih fokus pada cangkir putih bergambar burung cendrawasih
sambil tangannya mengaduk lembut cangkir itu.
“Rasanya gimana pa?” tanyaku lagi
masih penasaran.
“Enak donk. Ini minuman favorit papa
sayang.”
“Terus itu papa dapet darimana Pa?”
aku masih saja terus mencecar pertanyaan ke papa.
“Oh kalau yang ini papa dapet
oleh-oleh dari teman papa yang habis dari Toraja. Toraja itu suatu kota di
Sulawesi Selatan yang jadi salah satu pusat produksi kopi di Indonesia. Rasanya
dijamin enak sayang,” Jawab papa dengan sabarnya.
“Terus pa kalau itu oleh-oleh nanti
kalau habis gimana pa? Papa gak bisa minum kopi lagi donk?”
“Bisa donk sayang. Kopi itu gak cuma
dari Toraja aja. Kalau nanti yang ini habis, papa tinggal beli aja tuh di
supermartket deket rumah biasanya. Tiap bulan juga mama pasti beliin kok.”
“Oh gitu ya pa. Papa nanti kalau aku
besar aku mau beliin papa kopi Toraja ya Pa. Papa mau gak?”
Papa tersenyum melihatku. Dipegangnya
tangan mungilku sambil berkata, “Sayang, kamu mau beliin papa kopi Toraja atau
nggak itu terserah kamu. Kamu belajar yang rajin ya biar jadi anak pintar dan
nanti kamu bisa beliin papa kopi Toraja satu dus.”
Kami pun tertawa girang sore itu.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sore ini, aku duduk di teras belakang
kamar kosku. Pembicaraan 17 tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku SD itu
masih teringat jelas. Usiaku sekarang 25 tahun dan di sini aku duduk. Aku
bekerja di salah satu perusahaan BUMN terkemuka di Indonesia dan tepat setahun
lalu aku mendapat surat keputusan penempatan di sini, Toraja. Iya di Toraja.
Sebuah kota kecil di hampir ujung timur Indonesia. Entah sudah berapa dus kopi
yang kukirim ke rumah papa di Surabaya. Ah betapa aku rindu ada di
tengah-tengah orang tuaku, bersenda gurau bersama mereka membahas apapun yang
kami suka.
Kini mereka jauh di seberang sana.
Betapa aku rindu cara papa meminum dan menikmati kopinya. Papa yang tidak
pernah langsung menghabiskan kopinya dalam sekejap. Papa yang meminum kopinya
cukup seteguk dan meminumnya seteguk lagi satu jam kemudian. Begitu seterusnya.
Sejurus kemudian handphone ku
berbunyi. Kulihat nama yang tertera di layar, Mas Doni. Buru-buru kuangkat
telepon dengan girang.
“Lagi ngapain sayang?” suara di
seberang sana semangat sekali menyapaku.
“Lagi santai-santai nih di teras
belakang. Kamu lagi ngapain?”
“Ini masih di kantor, ada beberapa
kerjaan yang belum beres. Lembur deh.”
Pembicaraan terus berlanjut selama
hampir satu jam. Selanjutnya kami menutup telepon dan menyudahi pembicaraan
garing kami sore ini.
Mas Doni. Lelaki yang sudah
menemaniku selama 4 tahun terakhir ini. Sebenarnya kami sudah sangat siap untuk
melangkah ke jenjang selanjutnya, apalagi kalau bukan pernikahan.
Aku mengenal Mas Doni sejak di bangku
kuliah. Dia yang selalu setia membantu setiap tugas-tugas kuliahku, karena
jelas dari segi kemampuan Mas Doni sudah gak perlu diragukan lagi. Bahkan aku
bisa lulus kuliah juga gak jauh-jauh berkat tangan dingin Mas Doni. Jurusan
kuliahku yang teknik sempat membuat aku down
pada saat pengerjaan skripsi. Bukan sulit, hanya butuh ketelitian dan
ketelatenan yang sangat tinggi. Sudah hampir menyerah, apalagi Mas Doni sudah
selesai semua sidang sampai yudisium. Tinggal menunggu waktu untuk wisuda saja.
Sedangkan aku? Alat aja belum kelar, apalagi sidang sampai yudisium. Itulah,
karena Mas Doni semua akhirnya selesai. Aku yang hampir putus asa pun akhirnya
bangkit dan menyelesaikan semuanya sampai akhir.
Belum cukup sampai disitu cerita
hubunganku dengan Mas Doni. Selepas lulus kuliah, kami selalu bersama mencari
pekerjaan. Mulai rajin mendatangi jobfair, menyebarluaskan CV dan data diri ke
perusahaan manapun yang dimana kami masuk ke dalam persyaratan mereka, sampai
rajin apply pekerjaan via penyedia
jasa pekerjaan di internet. Entah sudah berapa CV kami sebarkan, berapa rupiah
juga yang kami keluarkan sedangkan kami saat itu masih berstatus mahasiswa
dengan kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan.
Setiap panggilan pekerjaan kami
jalani. Kami bergantian saling mengantar dan menunggu jika ada salah satu yang
mendapat panggilan. Entah berapa banyak kesedihan yang juga kami terima karena
tak satupun dari panggilan-panggilan tersebut yang berujung pada diterimanya
kami bekerja.
Mas Doni. Sosok pria yang pantang
menyerah, selalu tersenyum, tidak pernah stress memikirkan hidup. Sosok pria
yang selalu optimis dalam setiap langkahnya. Semua semangatku selalu muncul
dari sosok Mas Doni. Hingga suatu hari aku telah diterima di salah satu
perusahaan BUMN terkemuka. Dimana salah satu persyaratannya adalah aku harus
siap ditempatkan di seluruh Indonesia. Mas Doni pula orang pertama yang
mendukungku. Apapun yang aku lakukan jika itu demi kehidupan yang lebih baik
maka dia rela. Hanya satu keyakinannya, dia percaya padaku dan dia yakin aku
pun percaya padanya. Jika kami berjodoh, tidak akan sulit kami untuk
dipersatukan.
Hari itu, Minggu pagi selepas solat
Subuh, aku diantar Papa Mama dan Mas Doni ke bandara. Aku harus menjalani
training di Jakarta selama 3 bulan. Dengan penuh keyakinan dan semangat untuk
memperbaiki taraf hidup keluarga, mereka melepasku. Menangis memang, tapi itu
tangisan kebahagiaan.
Lalu bagaimana Mas Doni? Selama 3
bulan aku training di Jakarta, Mas Doni tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Papa
Mama mulai cemas dengan hal ini. Mereka seringkali menyindirku, jika memang Mas
Doni tidak juga bekerja sebaiknya aku mencari lelaki lain. Tidak. Bukan seperti
itu mauku. Aku tahu Mas Doni bukan orang sembarangan. Dia lelaki
bertanggungjawab dan pantang menyerah. Terus kuyakinkan orang tua ku jika kelak
Mas Doni pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan baik.
Waktu terus saja berjalan, setiap harinya
setiap minggu hingga akhirnya penantian itu berakhir. Tepat ketika aku mendapat
surat penempatan di Toraja, Mas Doni mendapat pengumuman diterima di salah satu
perusahaan swasta di Surabaya. Sedih. Tentu saja karena itu artinya kami memang
harus terpisah jarak.
Bagaimana orangtua ku? Mereka tidak
puas dengan pekerjaan Mas Doni. Tiap kali aku menelepon mereka, mereka selalu
bertanya kapan Mas Doni akan pindah ke perusahaan yang lebih baik? Jika sudah
begitu, aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan mereka dengan menanyakan kopi
rasa apalagi yang papa inginkan untuk kukirim. Sejauh ini aku selalu berhasil
dengan trik itu. Papa. Lelaki yang begitu menggemari kopi. Papa gak pernah
keluar atau bepergian jauh dari Surabaya. Tapi papa selalu tahu rasa kopi dari
segala penjuru Indonesia. Jika dipikir-pikir, mungkin saja penempatanku di
Toraja ini juga karena janjiku dulu ke papa. Aku yang dulu pernah berjanji
membelikan papa kopi Toraja satu dus. Sekarang? Semua terpenuhi. Lucu juga jika
mengingat saat-saat itu. Betapa polosnya aku yang dulu menjanjikan kopi Toraja
satu dus ke papa. Tapi hal itu adalah salah satu pembicaraan favorit kami di
ujung telepon. Jika sudah begitu, tawa kami pun lepas dan Mas Doni lenyap dari
pembicaraan.
Sekarang Mas Doni tetap di Surabaya.
Gak jarang aku sengaja mengirim kopi ke tempat Mas Doni untuk selanjutnya Mas
Doni antarkan ke rumah papa mama. Itu jadi salah satu trik kami untuk
meluluhkan hati mereka. Biasanya mereka akan sedikit luluh ketika melihat
kesungguhan Mas Doni terhadap hubungan kami. Perlahan tapi pasti, Mas Doni
seringkali datang ke rumah. Awalnya hanya untuk sekadar mengantar kopi, tapi
lambat laun selalu ada saja alasan Mas Doni untuk ke rumah. Mama yang sekarang
sedang belajar komputer, ternyata sangat terbantu oleh Mas Doni yang notabene
jagonya komputer baik software maupun
hardware. Kalau sudah begitu, mama
akan langsung meneleponku dan memuji Mas Doni yang sukses membantunya. Aku
hanya tersenyum-senyum sambil berdoa dalam hati semoga kami disegerakan ke
jenjang selanjutnya.
Ternyata tidak mudah. Walaupun Mas
Doni sudah hampir setiap hari datang ke rumah, aku pun yang setiap hari selalu
memuji Mas Doni lewat telepon dan entah sudah berapa banyak rayuan kuucapkan ke
mama untuk bisa menerima Mas Doni. Tampaknya papa mama masih bergeming. Tidak
jarang aku selalu menangis saat menerima telepon dari Mas Doni. Perjuangan kami
yang sudah sejauh ini kenapa tidak juga membuahkan hasil. Sempat terpikir
olehku untuk menyerah dan mengakhiri hubungan kami. Belum sempat kuucapkan, Mas
Doni selalu meyakinkanku jika semua akan baik-baik saja. Mas Doni di Surabaya
akan selalu siap berusaha sekuat tenaga meyakinkan orang tuaku.
Hingga suatu hari, papa mendadak
pingsan. Adikku saat itu masih menjalani tugas kuliah di luar kota. Mama di
rumah panik. Hari masih siang. Tetangga sekitar juga sepi. Satu-satunya yang
mama ingat hanya Mas Doni. Mas Doni yang saat itu sebenarnya masih ada
pekerjaan penting di kantor, rela meninggalkannya dan segera mengantar papa ke
rumah sakit. Untungnya papa hanya mengalami kelelahan karena sepanjang hari itu
papa sibuk membetulkan atap rumah yang bocor.
Keesokan harinya, aku mendapat
telepon dari Mas Doni. Tidak seperti biasanya karena Mas Doni telepon di jam
kerja. Kami sebenarnya sepakat untuk tidak saling mengganggu di saat waktu
kerja. Aku tentu kaget dengan telepon Mas Doni. Pasti ada hal yang amat penting
yang ingin dia sampaikan.
“Dek, InshaAllah bulan depan Mas mau ke
rumahmu sama orangtua mas. Mau ngelamar kamu. Kamu pulang ya.”
“Alhamdulillah, serius mas? Kok bisa?
Papa mama mau? Gimana ceritanya?”
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sore itu, Mas Doni datang ke rumah
seperti biasa mengantar kopi dariku. Begitu masuk papa mengajak Mas Doni duduk
di teras belakang rumah, sudah disiapkan kopi di sana. Dua cangkir kopi motif
cenderawasih favorit papa. Ditambah lagi kopi yang disiapkan adalah kopi Toraja
dariku. Mas Doni sebenarnya tidak terlalu suka kopi, tapi tentu sangat tidak
sopan jika dia tidak meminumnya.
Papa memulai pembicaraan. Menanyakan
seberapa serius Mas Doni denganku. Mas Doni dengan yakin dan siapnya menjawab,
bahkan sejak pertama kali dia diterima kerja dia sudah siap melamarku.
Tampaknya papa kaget dengan jawaban itu. Sempat terdiam beberapa saat sambil
memikirkan sesuatu. Sejurus kemudian papa mengangguk diikuti senyuman lebar
dari bibirnya yang sudah tampak keriput. Papa pun bertanya kapan orangtua Mas
Doni siap datang ke rumah. Melihat kesempatan yang tentu sudah sangat kami
tunggu-tunggu, Mas Doni menjawab dengan lantang jika bulan depan orang tua Mas
Doni akan datang ke rumah dan melamarku.
Mama yang melihat dari kejauhan
menghampiri Mas Doni, memeluknya dan mencium keningnya, sambil berucap,
“Selamat datang di keluarga kecil kami ya nak.”